Kota Cirebon yang kini terletak di pesisir utara Jawa Barat memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan perkembangan perdagangan maritim, penyebaran Islam, dan percampuran budaya. Nama “Cirebon” memiliki beberapa versi asal usul. Sebagian sejarawan berpendapat berasal dari kata caruban yang berarti “campuran”. Hal ini menggambarkan kondisi masyarakat Cirebon sejak awal yang terdiri atas campuran etnis Sunda, Jawa, Arab, Tionghoa, hingga Gujarat. Versi lain menyebut berasal dari kata rebon, yaitu udang kecil yang banyak hidup di pesisir. Dari hasil tangkapan udang ini, masyarakat memproduksi terasi, yang dalam bahasa setempat disebut belacan. Kata caruban kemudian berubah menjadi cerbon dan akhirnya menjadi cirebon.

http://www.hobokendive.com/
Masa Awal: Pemukiman di Muara Jati
Pada abad ke-14, wilayah yang kini menjadi Cirebon masih berupa perkampungan nelayan kecil bernama Muara Jati, yang terletak di muara Sungai Jati. Penguasa pertama yang dikenal dalam catatan lokal adalah Ki Gedeng Tapa, seorang kepala desa (kuwu) yang memimpin pemukiman di daerah Lemahwungkuk. Ia adalah kakek dari Pangeran Walangsungsang, tokoh penting dalam berdirinya Kesultanan Cirebon.
Ki Gedeng Tapa memiliki putri bernama Nyai Subang Larang, seorang Muslimah yang menikah dengan Prabu Siliwangi, raja besar dari Kerajaan Pajajaran. Dari pernikahan ini lahirlah Pangeran Walangsungsang dan Rara Santang. Walangsungsang kemudian menolak tahta Pajajaran karena ia memeluk Islam, agama yang ketika itu masih minoritas di Tatar Sunda.
Pangeran Cakrabuana dan Awal Islamisasi
Walangsungsang setelah memeluk Islam bergelar Pangeran Cakrabuana. Ia pindah ke daerah Lemahwungkuk dan membangun pemerintahan baru yang kelak menjadi Kesultanan Cirebon. Tahun 1445, Cakrabuana mendirikan Keraton Pakungwati, yang selain berfungsi sebagai pusat pemerintahan juga menjadi pusat penyebaran Islam. Cakrabuana dikenal sebagai kuwu Cirebon pertama.
Peran adiknya, Nyai Rara Santang, juga penting. Ia menikah dengan seorang bangsawan Mesir, dan dari perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah atau yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Pada 1470-an, Sunan Gunung Jati datang ke Cirebon dan melanjutkan kepemimpinan Pangeran Cakrabuana. Sunan Gunung Jati bukan hanya seorang penguasa politik, tetapi juga wali penyebar Islam yang sangat berpengaruh.
Kesultanan Cirebon: Pusat Perdagangan dan Dakwah
Di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, Cirebon berkembang pesat menjadi kerajaan Islam maritim. Pelabuhan Cirebon ramai dikunjungi pedagang dari Arab, Gujarat, Tiongkok, dan bahkan Turki Utsmani. Komoditas utama perdagangan antara lain beras, garam, terasi, udang, dan hasil bumi dari pedalaman Sunda.
Cirebon juga menjadi pintu masuk utama Islam ke wilayah Jawa Barat dan Banten. Sunan Gunung Jati menjalin hubungan erat dengan Kesultanan Demak di Jawa Tengah. Pada 1527, pasukan gabungan Demak dan Cirebon berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis, yang kemudian berganti nama menjadi Jayakarta (sekarang Jakarta). Fakta ini menunjukkan peran strategis Cirebon dalam politik dan militer Nusantara.
Selain aspek politik, Cirebon menjadi pusat budaya dan spiritual. Masjid Agung Sang Cipta Rasa, yang dibangun pada 1480, masih berdiri hingga kini sebagai saksi perkembangan Islam. Seni ukir, batik, dan kesenian khas seperti tarling juga mulai berkembang pada masa ini.
Perpecahan Kesultanan
Setelah wafatnya Sunan Gunung Jati pada 1568, Kesultanan Cirebon mengalami dinamika politik yang rumit. Pada abad ke-17, kerajaan terpecah menjadi beberapa keraton: Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan kemudian Keraton Kacirebonan. Perpecahan ini tidak hanya bersifat politik, tetapi juga akibat campur tangan Belanda (VOC) yang ingin melemahkan kekuatan Cirebon. Meskipun demikian, ketiga keraton tetap melestarikan budaya, tradisi, dan upacara adat hingga kini.
Masa Kolonial Belanda
VOC masuk ke Cirebon pada abad ke-17 dan secara perlahan menguasai jalur perdagangan. Setelah VOC bubar, wilayah Cirebon berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Pelabuhan dan jalur dagang dikendalikan Belanda, sementara rakyat menderita karena sistem tanam paksa dan pajak tinggi.
Cirebon tidak tinggal diam. Beberapa kali rakyat melakukan perlawanan, seperti Pemberontakan Cirebon (1850-an) yang dipimpin oleh tokoh agama dan bangsawan lokal. Meski pada akhirnya dapat dipadamkan, semangat perlawanan ini menunjukkan peran Cirebon dalam perjuangan melawan kolonialisme
Masa KemerdekaanSetelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Cirebon menjadi salah satu daerah penting di Jawa Barat dalam mempertahankan kemerdekaan. Pertempuran melawan tentara Belanda terjadi di berbagai tempat, termasuk peristiwa agresi militer Belanda. Kota Cirebon akhirnya resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia dan pada tahun 1950-an ditetapkan sebagai kota otonom.
Cirebon Modern
Kini, Cirebon dikenal dengan julukan “Kota Udang” karena hasil lautnya, sekaligus “Kota Wali” karena peran besar Sunan Gunung Jati dalam penyebaran Islam. Kota ini menjadi simpul penting jalur pantai utara (Pantura) Jawa.
Warisan budayanya masih sangat terasa, antara lain:

Keraton-keraton Cirebon yang masih aktif menjaga tradisi.
Batik Mega Mendung, motif khas yang terkenal hingga mancanegara.
Kuliner tradisional seperti empal gentong, nasi jamblang, tahu gejrot, dan seafood.
Situs bersejarah seperti Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Goa Sunyaragi.
Ekonomi Cirebon berkembang pesat melalui perdagangan, jasa, perikanan, industri kreatif, serta pariwisata. Posisinya yang strategis di jalur Pantura menjadikannya simpul penghubung Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta.
Sejarah Cirebon adalah kisah tentang percampuran budaya, pusat perdagangan maritim, dan penyebaran Islam di Jawa Barat. Dari desa nelayan kecil bernama Muara Jati, ia tumbuh menjadi Kesultanan Islam yang berpengaruh, kemudian melewati masa kolonialisme dan kini menjadi kota modern. Identitas Cirebon tetap kokoh sebagai kota multikultural yang menjaga tradisi sekaligus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
baca juga : Kebahagiaan Anak Fondasi masa depan
baca juga : Fashion Orang Korea Modern Tradisional Hanbok
baca juga : Jejak Letusan Legendaris gn anak krakatau