Gang Gloria Glodok: Surga Kuliner Legendaris di Jakarta Barat

Gang Gloria Glodok bukan sekadar lorong sempit di kawasan Tionghoa Jakarta—ia adalah koridor waktu yang menyajikan aroma, cita rasa, dan kenangan dari masa lalu. Terletak di kawasan Glodok, Jakarta Barat, gang ini menjadi salah satu titik pusat wisata kuliner Glodok yang selalu hidup dari pagi hingga malam.

Bagi pecinta kuliner legendaris Jakarta, nama Gang Gloria hampir pasti masuk dalam daftar destinasi wajib. Di sepanjang lorong ini, berjajar warung dan kedai yang mempertahankan resep-resep turun-temurun sejak puluhan tahun lalu. Mulai dari bakmi khas, nasi campur, kwetiau siram, hingga es kopi legendaris yang disajikan dalam gelas kaca bergaya tempo dulu.

Suasananya pun unik: sempit tapi hangat, sederhana namun sarat cerita. Lampu-lampu kuning, aroma bumbu masakan yang menggoda, dan interaksi antarpengunjung menjadikan tempat ini lebih dari sekadar tempat makan. Gang Gloria Glodok adalah cermin budaya kuliner Jakarta yang hidup di antara tembok-tembok tua Pecinan.

Menu Legendaris dan Kisah di Setiap Kedai

Bakmi Amoy: Mi Tradisional dengan Sentuhan Keluarga

Terletak di salah satu sudut sempit Gang Gloria, Bakmi Amoy lebih dari sekadar warung mi. Aroma kuah rebusan kaldu ayam kampung menyeruak bahkan sebelum kamu mendekat. Mi-nya kenyal, dibuat sendiri dengan tangan sejak subuh, dan dipadukan dengan topping ayam kecap, siobak yang digoreng garing, dan sambal bawang dengan rasa pedas yang khas. Ibu Amoy, sosok legendaris di balik kedai ini, dikenal tak pernah menulis resep karena semua takaran ia hafalkan dari ingatan—tradisi turun-temurun yang jadi jantung rasa otentik tempat ini. Suatu pagi, seorang pelanggan tetap menyebut, “Kalau belum sarapan di sini, kayak belum mulai harinya.”

gang gloria glodok

Es Kopi Tak Kie: Sejarah dalam Seteguk Minuman

Es Kopi Tak Kie adalah legenda yang berusia hampir satu abad. Dibuka pertama kali pada tahun 1927, kedai ini tetap mempertahankan gaya penyajian klasik: gelas kaca, seduhan manual, dan gula cair yang sudah dimasak terlebih dahulu. Kopinya kuat dan pekat, cocok dinikmati sambil duduk di bangku kayu panjang yang mulai aus karena usia. Tak Kie bukan hanya tempat ngopi, melainkan tempat bercengkrama, bertukar kabar, bahkan menulis ide. Banyak penulis dan jurnalis Jakarta yang mengaku pernah menyusun draft di meja-meja kecil kedai ini. Ia adalah saksi bisu dari perjalanan panjang budaya minum kopi di tengah denyut wisata kuliner Glodok.

Nasi Campur Hainan Atek: Perpaduan Budaya di Atas Piring

Nasi campur Atek membawa konsep Hainan dengan pendekatan Jakarta. Kamu akan disuguhi irisan char siu manis, ayam rebus empuk, telur teh dengan aroma herbal, dan tak lupa sambal merah yang khas. Nasi-nya wangi karena dimasak dengan kaldu ayam dan jahe. Yang membuat tempat ini unik bukan hanya makanannya, tapi juga kecepatan pelayanannya. Dalam hitungan menit setelah kamu duduk, sepiring nasi campur akan tersaji—hangat, lengkap, dan menggugah selera. Beberapa pengunjung bahkan menyebut Atek sebagai “resto bintang lima rasa kaki lima” karena kelezatannya yang konsisten.

Bubur Kwang Tung Mini: Sajian Tengah Malam yang Terlupakan

Tak banyak yang tahu kalau Gang Gloria juga punya versi ‘after hours’-nya. Di malam hari, muncul gerobak bubur Kwang Tung mini yang menyajikan bubur gurih dengan taburan cakwe, daun bawang, telur pitan, dan suwiran ayam kampung. Bubur ini jadi buruan pekerja shift malam atau anak-anak muda yang habis nongkrong. Rasanya sederhana tapi dalam, semangkuk comfort food yang menutup hari dengan tenang. Ia tak punya papan nama, tak punya media sosial, tapi selalu ramai karena kekuatan dari mulut ke mulut—esensi sejati dari kuliner legendaris Jakarta.

Setiap kedai di Gang Gloria membawa narasi—bukan hanya soal rasa, tapi soal warisan. Wisata kuliner Glodok tidak dibangun dalam sehari, melainkan diwariskan dalam peluh dan semangat bertahan. Itulah sebabnya, meski jalanan berubah, selera yang ditawarkan gang ini tetap tak tergantikan.

Budaya di Balik Setiap Suapan

Gang Gloria bukan hanya tempat makan, tapi ruang hidup yang berdenyut setiap hari. Di balik kedai-kedai kecil dan bangku plastik sederhana, ada komunitas yang terus merawat tradisi. Para pedagang di gang ini sebagian besar adalah generasi kedua atau ketiga—anak cucu dari mereka yang dulu mulai berjualan hanya dengan gerobak kecil atau meja lipat. Mereka tumbuh di antara aroma dapur, bumbu warisan, dan pelanggan yang kini datang bersama anak cucu mereka.

Interaksi antara penjual dan pembeli bukan sekadar transaksi. Mereka saling kenal nama, tahu kebiasaan, bahkan bisa menebak pesanan langganannya tanpa perlu ditanya. Inilah wajah lain dari kuliner legendaris Jakarta—kuliner yang menyatu dengan ikatan sosial dan budaya. Gang Gloria Glodok juga menjadi tempat bernaung bagi budaya Tionghoa-Indonesia yang kental, mulai dari hiasan pintu toko, kalender Imlek di dinding, hingga cara menyapa pelanggan dengan ramah dalam logat khas Jakarta.

Setiap hari, suara dari pengunjung yang bercampur dengan suara masakan, bunyi pisau memotong daging, hingga tawa obrolan sesama pedagang, membentuk simfoni kecil yang menghidupkan gang ini. Di sinilah wisata kuliner Glodok tidak hanya memperkenalkan rasa, tapi juga mempertemukan manusia—dengan tradisi, sejarah, dan satu sama lain.

Gang Gloria, Ruang Rasa dan Ingatan Kota

Gang Gloria Glodok bukan sekadar tempat berburu makanan enak. Ia adalah ruang di mana rasa, cerita, dan identitas Jakarta bertemu. Di antara sempitnya lorong dan hiruk-pikuk pembeli, ada kehangatan yang tidak bisa direka ulang oleh restoran modern atau kafe kekinian.

Mengunjungi Gang Gloria adalah pengalaman yang menyentuh lebih dari sekadar lidah—ia menyentuh ingatan, tradisi, dan rasa kebersamaan. Kuliner legendaris Jakarta ini tidak sekadar mempertahankan rasa, tapi juga cara hidup, cara melayani, dan cara merawat warisan.

Jika kamu ingin mengenal Jakarta lewat cara paling jujur, datanglah ke gang ini. Duduklah, makan, dengarkan, dan rasakan sendiri bagaimana sepotong kota bisa hidup dalam satu suapan sederhana.

hobokendive.com

About the Author

raadiv

Gue tinggal di kota, tapi suka nongkrong di tempat yang nggak biasa. Hoboken Dive ngebahas hidden gems, kuliner, dan gaya hidup urban dari kacamata lokal.

You may also like these